Sunday, 26 February 2017

Septi di motor pengangkut sampahnya. (foto: merdeka.com)
MEDANSATU.COM, Sulut – Hidup seperti roda yang berputar. Apapun yang terjadi harus dihadapi. Inilah yang dibuktikan Septi Steven Saroinsong (45). Mantan anggota DPRD Minahasa, Sulawesi Utara (Sulut), yang kini berprofesi sebagai tukang sampah.
“Awalnya saya adalah seorang wartawan yang mencoba mencalonkan diri sebagai anggota DPRD Minahasa di periode 2009-2014 namun gagal. Enam bulan menjelang periode berakhir, saya dapat kesempatan lewat PAW karena ada legislator lainnya tersandung masalah,” ujarnya seperti dikutip dari merdeka.com, Minggu (26/2/2017).
Septi saat masih menjabat sebagai anggota DPRD Minahasa. (foto: merdeka.com)
Kesempatan tak disia-siakan, proses PAW diurusnya sendiri dan melenggang ke gedung wakil rakyat Minahasa Komisi A dari Fraksi Partai Gerindra. Berada di gedung rakyat, Septi cukup vokal menolak kebijakan yang tak berpihak ke rakyat.
Maklum, selain memiliki latar belakang seorang wartawan, ia juga dikenal sebagai aktivis yang kerap turun ke jalan membela hak rakyat sebagai pemilik kekuasaan tertinggi di negara ini menurut undang-undang.

Bicara masalah status sosial, sebagai seorang anggota DPRD kala itu, tentu saja ia merupakan figur terpandang dengan semua fasilitas legislator yang menempel. Jalan ke mana saja ia selalu dihormati dan disegani warga, meski menurutnya, dirinya tak ingin dihormati karena ia yang harus mengabdi untuk rakyat.
Setelah masa jabatannya berakhir, ia kembali menekuni profesi wartawan di sebuah tabloid. Pontang-panting ke sana kemari mencari berita untuk disuguhkan ke masyarakat. Profesi sebagai seorang wartawan memang dikenal cukup keras, hingga tantangan lain menantinya di tahun 2016.

“Saat itu ada seleksi calon Kepala Lingkungan di tempat saya tinggal. Pertentangan batin muncul. Memang saya tertarik, namun hati masih bergejolak. Saya mantan anggota DPRD yang disegani, masa mau jadi Kepala Lingkungan? Bukannya ini suatu degradasi namanya?” tuturnya.
Atas nama pengabdian terhadap rakyat, keputusan hati ditetapkan. Toh tugasnya sama dengan anggota dewan yaitu bekerja untuk rakyat. Septi mendaftar dan ikut seleksi. Dari delapan calon yang ikut seleksi, iapun terpilih.
Tugas baru menanti sebagai pemimpin di organisasi terkecil republik ini. Kepala Lingkungan yang menuntut ia harus selalu berbaur langsung dengan warganya. Komunikasi yang intensif dipadu gaya blusukan berbuah kedekatan dengan warga. Lingkungan yang dipimpin lebih kondusif dari sebelumnya.

“Sejak saya menjabat sebagai Pala, kerawanan di sini berkurang menurut Polsek Wanea. Tiap ada potensi konflik saya ajak untuk diselesaikan di lingkungan. Saya ajak mereka berdialog dari hati ke hati dan diselesaikan secara damai. Kalau kalian langsung lapor di polisi itu salah kalian,” terang lelaki ramah ini.
Pada 31 Desember 2016, Pemerintah Kota Manado memberikan bantuan armada motor sampah roda tiga ke Kelurahan-kelurahan. Sejak itu ia kemudian bergelut dengan berbagai jenis sampah setiap harinya. Jatah satu armada diberikan kepadanya untuk mengangkut sampah di 4 lingkungan secara bergantian.

“Awalnya saya sempat merasa malu namun karena saya pikir ini halal dan juga bentuk pelayanan ke masyarakat. Saat sedang mengangkut sampah ke atas motor, banyak kali saya pikir sampah kering dalam kantong. Ternyata lelehan sampah busuk berbau menyengat meluber ke pakaian saya,” ujarnya sambil tertawa.
Dengan tambahan profesi baru ini, Septi mengaku sempat mendapat cibiran. Ada masyarakat juga yang mencibir profesi saya. Pernah saya menerima pesan pendek isinya mencela saya. “Masa mantan anggota dewan yang terhormat mau angkat-angkat sampah. Mereka mungkin ingin menjatuhkan mental saya, namun saya tidak bergeming. Yang penting halal dan mengabdi ke masyarakat enggak apa-apa merendahkan diri,” lanjut dia lagi.
Mulai pukul 15.00 WITA sore ia mulai berkeliling mengangkut sampah. Pekerjaan ini terkadang ia lakukan hingga pukul 20.00 malam. “Enggak apa-apa. Kuanggap sampah adalah sahabatku. Makan pun banyak kali di atas motor sampah. Ya, namanya juga lapar,” ungkapnya tersenyum.

Meski untuk menghidupi kebutuhan sehari-hari terasa sulit, ia terus melakoni pekerjaan dengan ikhlas. Honor Kepala Lingkungan sebesar Rp 2,25 juta per bulan. Upah istrinya sebagai tenaga honorer di Universitas Sam Ratulangi Manado hanya sebesar Rp 2 juta.
Hidup di Kota Manado dengan kebutuhan tinggi terasa pas-pasan dengan penghasilan seperti itu. Belum lagi biaya pendidikan dua putrinya yang sedang bersekolah. Putri sulungnya tercatat sebagai mahasiswi semester 6 Fakultas Ekonomi Unsrat Manado, sementara putri bungsunya tahun ini akan masuk bangku SMA. (sumber: merdeka.com)

0 comments:

Post a Comment

Powered by Blogger.

Popular Posts

Blog Archive