Thursday, 23 February 2017

“DIA istri saya, dan akan selamanya menjadi istri saya”. Kalimat ini diungkapkan Edi, sapaan Ahmad Haidir, via telepon, Minggu (5/2), saat menceritakan kisah cintanya yang tragis kepada FAJAR (Kaltim Post Group). Mimpi indah yang sudah direncanakan selama dua tahun, harus berakhir.
Tuhan berkehendak lain. Pesta pernikahan yang sudah direncanakan pada Oktober mendatang, batal terlaksana. Herni memilih mengakhiri hidupnya dengan racun rumput. Meninggalkan pria yang begitu mencintainya.  Perjuangan Edi mendapatkan cinta pujaan hati dan restu keluarganya memang penuh tantangan. Pemuda asal Kepulauan Nias, Sumatra Utara, itu menemukan cinta sejatinya di Parepare, dua tahun lalu. Dia bertemu Herni yang waktu itu masih berstatus mahasiswi Stikes Baramuli.

Edi yang bekerja di sebuah koperasi di Parepare, langsung jatuh hati. Butuh waktu hingga akhirnya Herni mau menerima cintanya. Keduanya memutuskan menjalin hubungan serius. Rencana pernikahan perlahan disusun. Bukan hanya perbedaan budaya yang harus disatukan. Perbedaan keyakinan juga menjadi rintangan. Hingga akhirnya Edi, dengan seizin orangtuanya di Nias, memutuskan menjadi mualaf. Makin muluslah rencana memperistri Herni. Waktunya Oktober nanti, maharnya Rp 40 juta.
Edi yang kini bekerja di Enrekang, tak sabar menghitung hari. Namun, sebuah telepon dari Herni, Rabu 1 Februari, bak petir pada siang bolong. “Dia bilang ingin bunuh diri dengan meminum racun rumput,” ungkap Edi menceritakan pembicaraan dengan calon istrinya hari itu.

Edi langsung menghubungi Wati, ibu Herni, calon mertuanya. Setelah itu, dia memacu motornya ke Barru. Jarak 181 km ditempuhnya kurang dari empat jam. Berharap dia masih bisa menyelamatkan nyawa sang kekasih.
Di Barru, mendengar laporan Edi, Wati bergegas ke kamar Herni. Ibu tiga anak ini panik mendapati putrinya sudah lemas. Korban kemudian dibawa ke Puskesmas Madello. Namun kondisinya kian memburuk, hingga harus dirujuk ke Rumah Sakit Umum Parepare.
Edi masih bisa menemui Herni yang kritis. Dengan setia dia mendampingi calon istrinya. Membersihkan tubuh Herni setiap kali muntah hebat. Membelai rambutnya dan membisikkan kalimat semangat agar kembali pulih. Hingga akhirnya, Kamis dini hari, 2 Februari, perempuan yang baru saja menyelesaikan kuliahnya itu mengembuskan napas terakhir. Tangis keluarganya pecah. Edi seolah tak percaya dengan peristiwa tersebut.

“Edi begitu mencintai anak saya. Dia seolah tak melepas pelukan meski telah menjadi mayat,” tutur Wati.  “Ini kehendak Tuhan. Kami sudah mengikhlaskan kepergiannya. Saya juga sudah meminta Edi melupakan anak saya,” lanjutnya. Orangtua Herni dibuat terkejut dengan jawaban Edi. Dan tak bisa berbuat apa-apa selain mengiyakan permintaan calon menantunya itu. “Saya sangat mencintai Herni. Niat saya tak berubah, akan tetap menikah dengannya meski tak bernyawa lagi,” kata Edi.
Setelah berdiskusi dengan keluarga, pernikahan akhirnya digelar, Jumat (3/2) siang. Lokasinya di rumah duka, tempat jasad Herni disemayamkan, Desa Lampoko, Kecamatan Balusu, Kabupaten Barru. Imam masjid di kampung itu menjadi wali nikah. Disaksikan keluarga yang tak bisa menahan kesedihan.
Hari itu, Edi terlihat gagah. Pakaiannya rapi, lengan panjang warna gelap. Kopiah hitam menutupi kepalanya. Di sampingnya, mayat Herni yang sudah dibungkus kafan terbujur kaku.

Semua berlangsung khidmat dengan derai air mata. Hingga saksi menyatakan “sah” resmilah keduanya menjadi suami istri. Meski beberapa saat setelah itu, Herni diantar ke peristirahatan terakhir oleh keluarga dan sang suami, Ahmad Haidir.  

MASIH MISTERIUS
Banyak yang menyayangkan keputusan Herni mengakhiri hidup dengan cara tragis. Hanya kata “maaf” yang sempat terucap. Motif kematian Herni tetap menjadi misteri. Semua orang bertanya-tanya. Bahkan, orangtua dan sang kekasih, Edi, dibuat penasaran. Mereka hanya tahu dia meminum racun rumput sebelum mengembuskan napas terakhir. “Saat dibawa ke Puskesmas, dia hanya mengucap maaf telah berbuat khilaf. Setelah itu, dia tak pernah lagi sadarkan diri hingga meninggal,” kisah sang ibu, Wati.
Wati mengaku tak habis pikir mengapa putri keduanya itu memutuskan memilih cara tersebut untuk mengakhiri hidupnya. Padahal, dalam kesehariannya, perempuan itu dikenal periang. Setahu orang terdekatnya, dia tak ada masalah dengan siapa pun.
Herni yang alumnus sekolah kesehatan itu, justru sering memperingatkan keluarganya agar tidak sembarangan menyimpan benda-benda beracun. Maklum, orangtuanya seorang petani, kerap menggunakan pestisida. “Jangankan racun. Saat kami akan meminum obat, dia selalu berpesan agar mengikuti petunjuk dokter. Makanya, kami heran mengapa terjadi seperti ini,” tutur Wati.

Keluarga korban juga sempat meminta penjelasan kepada Edi, terkait hubungan mereka selama ini. Menurut pengakuan sang kekasih, seperti ditirukan ibu korban, sejak mereka berkenalan hingga pacaran, tak pernah ada pertengkaran. “Berjalan biasa saja, tak ada yang ditutup-tutupi,” aku Edi kepada Wati.
Baik Wati maupun suaminya, La Juma, serta keluarga besar mereka, mengaku tak pernah menghalangi niat keduanya untuk menikah. Sejak Herni memperkenalkan Edi, tak pernah ada kata penolakan terlontar. Menurut Husban, kakek korban, sudah beberapa kali Edi datang menemui mereka. Menyatakan keseriusan dan keinginan menjadikan Herni sebagai istri. “Asalkan saling suka kami pun memberi restu,” akunya.
Sementara itu, upaya FAJAR kembali menghubungi Edi tak membuahkan hasil. Setelah meladeni wawancara singkat pada Minggu (5/2) malam, pria yang kini bekerja di Enrekang tersebut seolah menutup diri. Nomor ponselnya tak lagi aktif. Namun, di akun Facebook-nya, Edi bahkan masih meng-upload foto-foto Herni jelang kematiannya. Terakhir di-upload pada Kamis, 2 Februari pukul 18.50 Wita.

Kisah cinta yang berakhir tragis ini pun langsung menuai reaksi banyak pihak. Di media sosial, tak sedikit yang mengagumi kesetiaan Edi. Namun, sejumlah pihak juga menyayangkan digelarnya pernikahan dengan mayat yang dianggap tak lazim. Dalam Islam, tak bisa dianggap sah jika salah satu rukun nikah tak terpenuhi.
Menanggapi hal ini, pihak keluarga yang diwakili oleh Syamsuddin, paman korban, mencoba menjelaskan yang terjadi pada Jumat, 3 Februari, sebelum pemakaman Herni. “Saya ada di tempat waktu itu. Kami mengundang imam kampung untuk mengurus jenazah, bukan untuk menikahkan,” elaknya.

Sementara itu, Kepala KUA Kecamatan Balusu, Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan, Firman, mengaku tidak tahu persis masalah itu.  Yang jelas, tidak ada berkas administrasi yang mereka terima.  Hanya, terang dia, Edi memang pernah datang ke KUA. Dia minta dituntun mengucapkan dua kalimat syahadat. “Dia bilang akan menikahi wanita muslim di wilayah kami. Hanya itu. Kalau administrasi nikahnya kami tidak terima,” jelasnya. (far/k8)

0 comments:

Post a Comment

Powered by Blogger.

Popular Posts

Blog Archive